Minggu, 23 November 2008

PERSOALAN PENDIDIKAN KITA

PERSOALAN PENDIDIKAN KITA
Oleh Prof. Suyanto, Ph.D

          Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Sudah sepantasnya kita menaruh kepedulian yang tinggi terhadap sektor pendidikan, mengingat setelah 60 tahun merdeka, pendidikan di negeri ini masih menghadapi segudang persoalan yang sulit untuk dipecahkan dalam kurun waktu yang singkat. Jika kita ingin menjadi bangsa yang kuat seperti negara-negara maju di dunia saat ini, mau tidak mau sektor pendidikan harus menjadi prioritas pembangunan bangsa. Manakala prioritas pembangunan pendidikan harus ditaruh dalam skala yang penting, kita (pemerintah, masyarakat, dan keluarga) harus memiliki kesadaran yang tinggi akan berbagai kelemahan yang ada dalam dunia pendidikan, dan dengan demikian harus segera ditangani secara tersistem dan berkelanjutan.
          Berikut ini adalah beberapa dari sekian banyak persoalan pendidikan yang pantas menjadi perhatian kita semua. Pertama, kita menjadi lemah saat ini akibat rendahnya partisipasi partisipasi pendidikan. Jumlah penduduk usia pra sekolah (5 – 6 tahun) sebanyak 8.259.200 baru tertampung 1.845.983 anak (22, 35%); Jumlah penduduk usia Sekolah Dasar (7 – 12 tahun) sebanyak 25.525.000  baru tertampung 24.041.707 anak (94.19%); Jumlah penduduk usia SMP (13 – 15 tahun) sebanyak 12.831.200  baru tertampung 7.630.760 anak (59,47%); Jumlah penduduk usia SMA (16 – 18 tahun) sebanyak 12.695.800  baru tertampung 4.818.575 anak (37,95%); Jumlah penduduk usia pendidikan tinggi (19 – 24 tahun) sebanyak 24.738.600 baru tertampung 3.441.429 orang (13,91%). Dengan data partisipasi pendidikan yang masih rendah itu konsekuensinya angkatan kerja kita yang saat ini bekerja hanya memiliki pendidikan yang kurang memadai. Tenaga kerja kita yang memiliki pendidikan tinggi saat ini kurang dari 3%. Sebaliknya, hampir 45% tanaga kerja kita saat ini tidak lulus Sekolah Dasar.  Akibatnya, produktivitas mereka juga rendah. Hal ini lebih lanjut berakibat pada rendahnya daya saing Republik ini dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, Cina, dan lebih-lebih lagi Singapore.    
Persoalan kedua, masih banyaknya guru/dosen yang belum memenuhi persyaratan kualifikasi. Guru TK sebanyak 137.069, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 12.929 orang (9,43%). Guru SD sebanyak 1.234.927, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 625.710 orang (50,67%). Guru SMP sebanyak 466.748, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 299.105 orang (64,08%). Guru Sekolah Menengah sebanyak 377.673, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 238.028 orang (63,02%). Dosen Perguruan Tinggi sebanyak 210.210, yang sudah memiliki kewenangan mengajar sesuai dengan kualifikasi pendidikannya baru 101.875 orang (48,46%). Keadaan yang tergambarkan dalam data itu memiliki implikasi bahwa sebagian besar tenaga kependidikan kita belum bisa memenuhi kriteria untuk dijadikan sebagai tenaga kependidikan (guru) yang professional. Oleh karena itu ke depan upaya untuk melakukan penyetaraan dan peningkatan pendidikan para guru kita sesuai dengan kualifikasi yang seharusnya sangat penting. Hal ini dapat ditempuh dengan melakukan in service training  bagi para guru kita yang belum memiliki kualifikasi dilihat dari tingkat pendidikan yang dimilikinya.
          Persoalan pendidikan ketiga adalah  angka putus sekolah (drop out) yang masih tinggi. Persentase angka putus sekolah untuk setiap jenjang pendidikan adalah sebagai berikut: angka putus sekolah untuk SD 2,97%; untuk SMP 2,42%; untuk SMA 3,06%; dan angka putus sekolah untuk Perguruan Tinggi  5,9%; Secara relatif angka ini kelihatannya kecil. Tetapi jika dilihat dari jumlah penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan, sungguh jumlah absolutnya sangat tinggi. Angka drop out  harus di tekan serendah mungkin agar program wajib belajar yang harus tuntas sebelum 2015 sesuai dengan Deklarasi Dakar (Education for All) bisa menjadi kenyataan. Jika tidak, kita akan mendapatkan sangsi moral dari kekuatan internasional yang telah sepakat terhadap deklarasi Education for All. Mengapa demikian? Karena dalam deklarasi itu disepakati bahwa negara-negara yang sedang berkembang harus menuntaskan program wajib belajar di negara masing-masing sebelum tahun 2015.
          Persoalan pendidikan ketiga, berupa banyaknya ruang kelas yang tidak layak untuk proses belajar-mengajar. Ruang kelas TK yang jumlahnya 93.629, yang kondisinya masih baik hanya 77.399 (82,67%); Ruang kelas SD yang jumlahnya 865.258, yang kondisinya masih baik hanya 364.440 (42,12%); Ruang kelas SMP yang jumlahnya 187.480, yang kondisinya masih baik hanya 154.283 (82,29 %); Ruang kelas SMA yang jumlahnya 124.417, yang kondisinya masih baik berjumlah 115.794 (93,07%); Di samping persoalan di atas, kita sebagai bangsa juga masih memiliki warga yang belum bisa baca-tulis secara fungsional alias buta hruf dalam jumlah yang besar. Dari jumlah penduduk 211.063.000, mereka yang masih buta huruf pada usia 15 tahun ke atas sebesar 23.199.823 (10,99%). Kondisi sekolah yang rusak itu perlu segera dibangun. Jika pemerintah mau membangun sekolah-sekolah yang rusak itu dipastikan juga akan mampu menggerakkan sektor ekonomi, mengingat untuk membangunnya paling tidak memerlukan dana kurang lebih 13 trilyun rupiah. Jika dana sejumlah itu diinvestasikan untuk membangun sekolah yang rusak, ekonomi kerakyakyatan juga akan menggeliat, bergerak ke arah yang lebih baik akibat dikucurkannya investasi itu.  Inilah sekilas wajah dan persoalan pendidikan kita. Memang masih banyak persoalan yang harus diperbaiki dalam bidang pendidikan agar kita sebagai bangsa yang besar memiliki daya saing yang tinggi di era knowledge based economy. Semoga kita berdaya menghadapai semua persoalan pendidikan itu.

2. PENDIDIKAN NASIONAL YANG BERMORAL
Memang harus kita akui ada diantara (oknum) generasi muda saat ini yang mudah emosi dan lebih mengutamakan otot daripada akal pikiran. Kita lihat saja, tawuran bukan lagi milik pelajar SMP dan SLTA tapi sudah merambah dunia kampus (masih ingat kematian seorang mahasiswa di Universitas Jambi, awal tahun 2002 akibat perkelahian didalam kampus). Atau kita jarang (atau belum pernah) melihat demonstrasi yang santun dan tidak menggangu orang lain baik kata-kata yang diucapkan dan prilaku yang ditampilkan. Kita juga kadang-kadang jadi ragu apakah demonstrasi yang dilakukan mahasiswa murni untuk kepentingan rakyat atau pesanan sang pejabat.
Selain itu, berita-berita mengenai tindakan pencurian kendaraan baik roda dua maupun empat, penguna narkoba atau bahkan pengedar, pemerasan dan perampokan yang hampir setiap hari mewarnai tiap lini kehidupan di negara kita tercinta ini banyak dilakukan oleh oknum golongan terpelajar. Semua ini jadi tanda tanya besar kenapa hal tersebut terjadi?. Apakah dunia Pendidikan (dari SD sampai PT) kita sudah tidak lagi mengajarkan tata susila dan prinsip saling sayang - menyayangi kepada siswa atau mahasiswanya atau kurikulum pendidikan tinggi sudah melupakan prinsip kerukunan antar sesama? Atau inikah hasil dari sistim pendidikan kita selama ini ? atau Inikah akibat perilaku para pejabat kita?
Dilain pihak, tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme yang membuat bangsa ini morat-marit dengan segala permasalahanya baik dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial budaya serta pendidikan banyak dilakukan oleh orang orang yang mempunyai latar belakang pendidikan tinggi baik dalam negri maupun luar negri. Dan parahnya, era reformasi bukannya berkurang tapi malah tambah jadi. Sehingga kapan krisis multidimensi inI akan berakhir belum ada tanda-tandanya.
Kita dan saya sebagai Generasi Muda sangat perihatin dengan keadaan generasi penerus atau calon generasi penerus Bangsa Indonesai saat ini, yang tinggal, hidup dan dibesarkan di dalam bumi republik ini. Untuk menyiapkan generasi penerus yang bermoral, beretika, sopan, santun, beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa perlu dilakukan hal-hal yang memungkin hal itu terjadi walaupun memakan waktu lama.
Pertama, melalui pendidikan nasional yang bermoral (saya tidak ingin mengatakan bahwa pendidikan kita saat ini tidak bermoral, namun kenyataanya demikian di masyarakat). Lalu apa hubungannya Pendidikan Nasional dan Nasib Generasi Penerus? Hubungannya sangat erat. Pendidikan pada hakikatnya adalah alat untuk menyiapkan sumber daya manusia yang bermoral dan berkualitas unggul. Dan sumber daya manusia tersebut merupakan refleksi nyata dari apa yang telah pendidikan sumbangankan untuk kemajuan atau kemunduran suatu bangsa. Apa yang telah terjadi pada Bangsa Indonesia saat ini adalah sebagai sumbangan pendidikan nasional kita selama ini. Pendidikan nasional selama ini telah mengeyampingkan banyak hal. Seharusnya pendidikan nasional kita mampu menciptakan pribadi (generasi penerus) yang bermoral, mandiri, matang dan dewasa, jujur, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur, berperilaku santun, tahu malu dan tidak arogan serta mementingkan kepentingan bangsa bukan pribadi atau kelompok.Tapi kenyataanya bisa kita lihat saat ini. Pejabat yang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme baik di legislative, ekskutif dan yudikatif semuanya orang-orang yang berpendidikan bahkan tidak tanggung-tanggung, mereka bergelar dari S1 sampai Prof. Dr. Contoh lainnya, dalam bidang politik lebih parah lagi, ada partai kembar , anggota dewan terlibat narkoba, bertengkar ketika sidang, gontok-gontokan dalam tubuh partai karena memperebutkan posisi tertentu (Bagaimana mau memperjuangkan aspirasi rakyat kalau dalam diri partai saja belum kompak). Dan masih ingatkah ketika terjadi jual beli kata-kata umpatan ("bangsat") dalam sidang kasus Bulog yang dilakukan oleh orang-orang yang mengerti hukum dan berpendidikan tinggi. Apakah orang-orang seperti ini yang kita andalkan untuk membawa bangsa ini kedepan? Apakah mereka tidak sadar tindak-tanduk mereka akan ditiru oleh generasi muda saat ini dimasa yang akan datang? Dalam dunia pendidikan sendiri terjadi penyimpangan-penyimpang yang sangat parah seperti penjualan gelar akademik dari S1 sampai S3 bahkan professor (dan anehnya pelakunya adalah orang yang mengerti tentang pendidikan), kelas jauh, guru/dosen yang curang dengan sering datang terlambat untuk mengajar, mengubah nilai supaya bisa masuk sekolah favorit, menjiplak skripsi atau tesis, nyuap untuk jadi pegawai negeri atau nyuap untuk naik pangkat sehingga ada kenaikan pangkat ala Naga Bonar. Di pendidikan tingkat menengah sampai dasar, sama parahnya, setiap awal tahun ajaran baru. Para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya (untungsnya, NEM sudah tidak dipakai lagi, entah apalagi cara mereka), kalau perlu didongkrak supaya bisa masuk sekolah-sekolah favorit. Kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari lobby untuk memasukan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau perlu nyuap. Perilaku para orang tua seperti ini (khususnya kalangan berduit) secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan. (makanya tidak aneh sekarang ini banyak oknum pejabat jadi penipu dan pembohong rakyat). Dan banyak lagi yang tidak perlu saya sebutkan satu per satu dalam tulisan ini. Kembali ke pendidikan nasional yang bermoral (yang saya maksud adalah pendidikan yang bisa mencetak generasi muda dari SD sampai PT yang bermoral. Dimana proses pendidikan harus bisa membawa peserta didik kearah kedewasaan, kemandirian dan bertanggung jawab, tahu malu, tidak plin-plan, jujur, santun, berahklak mulia, berbudi pekerti luhur sehingga mereka tidak lagi bergantung kepada keluarga, masyarakat atau bangsa setelah menyelesaikan pendidikannya.Tetapi sebaliknya, mereka bisa membangun bangsa ini dengan kekayaan yang kita miliki dan dihargai didunia internasional. Kalau perlu bangsa ini tidak lagi mengandalkan utang untuk pembangunan. Sehingga negara lain tidak seenaknya mendikte Bangsa ini dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan kata lain, proses transformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik harus dilakukan dengan gaya dan cara yang bermoral pula. Dimana ketika berlangsung proses tranformasi ilmu pengetahuan di SD sampai PT sang pendidik harus memiliki moralitas yang bisa dijadikan panutan oleh peserta didik. Seorang pendidik harus jujur, bertakwa, berahklak mulia, tidak curang, tidak memaksakan kehendak, berperilaku santun, displin, tidak arogan, ada rasa malu, tidak plin plan, berlaku adil dan ramah di dalam kelas, keluarga dan masyarakat. Kalau pendidik mulai dari guru SD sampai PT memiliki sifat-sifat seperti diatas. Negara kita belum tentu morat-marit seperti ini.
Kedua, Perubahan dalam pendidikan nasional jangan hanya terpaku pada perubahan kurikulum, peningkatan anggaran pendidikan, perbaikan fasilitas. Misalkan kurikulum sudah dirubah, anggaran pendidikan sudah ditingkatkan dan fasilitas sudah dilengkapi dan gaji guru/dosen sudah dinaikkan, Namun kalau pendidik (guru atau dosen) dan birokrat pendidikan serta para pembuat kebijakan belum memiliki sifat-sifat seperti diatas, rasanya perubahan-perubahan tersebut akan sia-sia. Implementasi di lapangan akan jauh dari yang diharapkan Dan akibat yang ditimbulkan oleh proses pendidikan pada generasi muda akan sama seperti sekarang ini. Dalam hal ini saya tidak berpretensi menyudutkan guru atau dosen dan birokrat pendidikan serta pembuat kebijakan sebagai penyebab terpuruknya proses pendidikan di Indonesia saat ini. Tapi adanya oknum yang berperilaku menyimpang dan tidak bermoral harus segera mengubah diri sedini mungkin kalau menginginkan generasi seperti diatas. Selain itu, anggaran pendidikan yang tinggi belum tentu akan mengubah dengan cepat kondisi pendidikan kita saat ini. Malah anggaran yang tinggi akan menimbulkan KKN yang lebih lagi jika tidak ada kontrol yang ketat dan moralitas yang tinggi dari penguna anggaran tersebut. Dengan anggaran sekitar 6% saja KKN sudah merajalela, apalagi 20-25%. Ketiga, Berlaku adil dan Hilangkan perbedaan. Ketika saya masih di SD dulu, ada beberapa guru saya sangat sering memanggil teman saya maju kedepan untuk mencatat dipapan tulis atau menjawab pertanyaan karena dia pintar dan anak orang kaya. Hal ini juga berlanjut sampai saya kuliah di perguruan tinggi. Yang saya rasakan adalah sedih, rendah diri, iri dan putus asa sehingga timbul pertanyaan mengapa sang guru tidak memangil saya atau yang lain. Apakah hanya yang pintar atau anak orang kaya saja yang pantas mendapat perlakuan seperti itu.? Apakah pendidikan hanya untuk orang yang pintar dan kaya? Dan mengapa saya tidak jadi orang pintar dan kaya seperti teman saya? Bisakah saya jadi orang pintar dengan cara yang demikian? Dengan contoh yang saya rasakan ini (dan banyak contoh lain yang sebenarnya ingin saya ungkapkan), saya ingin memberikan gambaran bahwa pendidikan nasional kita telah berlaku tidak adil dan membuat perbedaan diantara peserta didik. Sehingga generasi muda kita secara tidak langsung sudah diajari bagaimana berlaku tidak adil dan membuat perbedaan. Jadi, pembukaan kelas unggulan atau kelas akselerasi hanya akan membuat kesenjangan sosial diantara peserta didik, orang tua dan masyarakat. Yang masuk di kelas unggulan belum tentu memang unggul, tetapi ada juga yang diunggul-unggulkan karena KKN. Yang tidak masuk kelas unggulan belum tentu karena tidak unggul otaknya tapi karena dananya tidak unggul. Begitu juga kelas akselerasi, yang sibuk bukan peserta didik, tapi para orang tua mereka mencari jalan bagaimana supaya anaknya bisa masuk kelas tersebut. Kalau mau membuat perbedaan, buatlah perbedaan yang bisa menumbuhkan peserta didik yang mandiri, bermoral. dewasa dan bertanggungjawab. Jangan hanya mengadopsi sistem bangsa lain yang belum tentu cocok dengan karakter bangsa kita. Karena itu, pembukaan kelas unggulan dan akselerasi perlu ditinjau kembali kalau perlu hilangkan saja. Contoh lain lagi , seorang dosen marah-marah karena beberapa mahasiswa tidak membawa kamus. Padahal Dia sendiri tidak pernah membawa kamus ke kelas. Dan seorang siswa yang pernah belajar dengan saya datang dengan menangis memberitahu bahwa nilai Bahasa Inggrisnya 6 yang seharusnya 9. Karena dia sering protes pada guru ketika belajar dan tidak ikut les dirumah guru tersebut. Inikan! contoh paling sederhana bahwa pendidikan nasional kita belum mengajarkan bagaimana berlaku adil dan menghilangkan Perbedaan.

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More