This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 03 November 2012

Korupsi dan Moral Bangsa

KORUPSI DAN MORAL BANGSA

            Krisis moneter yang melanda  negara tercinta, Indonesia, sejak 1996, telah menyebabkan terjadinya krisis-krisis yang lain. Antara lain yang paling memprihatinkan adalah terjadinya krisis moral. Di sisi lain, Orde Reformasi yang muncul setelah tumbangnya Orde Baru, tidak mampu memberikan perbaikan terhadap kondisi kehidupan rakyat pada umumnya. Padahal, semula rakyat berharap bahwa pada Orde Reformasi ini, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terjadi pada orde sebelumnya dapat diberantas karena  telah terbukti menghambat pembangunan bangsa dan negara. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dengan terjadinya krisis moral, maka praktik-praktik KKN para Orde Reformasi bukannya diberantas, malah semakin marak dan merajalela.
Korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency International, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang-orang yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepadanya. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur berikut: perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi; dan merugikan keungan negara atau perekonomian negara.
Selain itu, terdapat beberapa jenis tindakan pidana korupsi yang lain, di antaranya: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan dalam anggaran, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan barang/jasa, dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politisi adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan terhadap korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk pengunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang dilegalkan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya adalah pemerintahan oleh para pencuri, di mana orang yang pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Meskipun korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal, seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, namun korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk memperpanjang masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Dari pengertian korupsi di atas, jelas korupsi merupakan sebuah tindakan ketidakjujuran yang merupakan tindakan tercela, terlebih lagi dalam tinjauan agama.
Lemahnya keadilan merupakan fenomena yang tak pernah hilang dari tubuh bangsa  Indonesia. Hal ini sudah menjadi tradisi turun temurun yang akan terus berlanjut tanpa adanya kepastian yang jelas.  Potret buram ini juga telah menjadi budaya di negeri ini. Indonesia yang kaya akan sumber daya alamnya juga tidak kalah kaya akan ko­rup­sinya, betapa mudahnya para koruptor yang seenaknya mele­nyapkan uang rakyat dari segala bi­dang yang ada di pemerintahan, begitu juga suap menyuap yang telah mewarnai aktifitas kehi­dupan di negeri ini. Korupsi dan suap-menyuap adalah dua aspek yang tak pernah selesai tersentuh hukum yang jelas. Dualisme inilah yang menyebabkan lemah­nya keadilan di tubuh bangsa ini. Dualisme suap menyuap dan korupsi adalah racun yang per­­lahan-lahan menggerogoti sendi-sendi bangsa yang ber­dampak buruk bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ironis jika bangsa kita yang ber­ada pada zaman reformasi dan demokrasi tapi tindakan suap-menyuap dan korupsi men­jadi tradisi yang dilakukan secara terang-terangan. Seperti ter­jadinya suap-menyuap di dunia pendidikan yang lebih me­mentingkan materi dari pada akademis, Untuk memasukkan anak ke sekolah yang bonafit, tidak cukup hanya bermodal nilai UN yang tinggi tapi dibutuhkan juga uang yang banyak untuk menyumpal mulut para panitia. Terjadinya monopoli dalam dunia usaha dan bisnis ya­ng dapat menguasai harga, prak­tek suap menyuap dalam tubuh birokrasi dan pengadilan dan sampai hal kecil seperti pem­buatan KTP pun masih terjadi suap dan sogok-me­nyogok. Tindakan suap-menyuap akan melahirkan para koruptor dan kenapa hal ini terjadi karena adanya peluang. Sungguh pemandangan yang sangat menyedihkan. Kedua tindakan hina ini mempunyai kesamaan dan merugikan banyak pihak terutama rakyat yang setia membayar pajak terkena imbas­nya. Dan perlu kita renungi bah­wa suap-menyuap dan ko­rupsi berada di urutan 47 di tataran global dan untuk Asia Pa­sifik, Indonesia berada pada urutan kedua terburuk.
Seperti yang terjadi belakangan ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diha­rap­kan bisa memberi warna positif  bagi pengadilan yang ada di Indo­nesia malah jauh melenceng dari apa yang diharapkan. Hal ini dikarenakan maraknya vonis bebas yang diberikan kepada bebe­rapa terdakwa korupsi oleh Pengadilan Tipikor, terkait masalah ini Donal Fariz Peneliti hukum ICW memaparkan, “awal pembentukan Pengadilan Tipikor tak lain seringnya pengadilan negeri mengambil keputusan kontroversial dalam kasus ko­rup­si dengan membebaskan para tersangkanya, tetapi jika pe­ngadilan Tipikor melakukan hal yang sama, harus ada evaluasi secara menyeluruh” (Republika 7/11/12). Ini semua merupakan gambaran bahwa betapa lemah­nya hukum di pengadilan yang ada di negara kita saat ini. Peng­adilan Tipikor yang usianya be­lum genap dua tahun sejak di­bentuk berdasarkan undang-undang pengadilan Tipikor na­mun telah melahirkan prestasi yang cukup mencengangkan da­lam pembebasan yang diberi­kan kepada terdakwa korupsi. 
Terkait masalah ini Indonesia Corruption watch (ICW) juga memaparkan data yang mereka miliki bahwa terdapat 40 ter­dakwa kasus korupsi dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor dan tidak menutup kemungkinan ini bisa bertambah (Republika 7/11/12). Mengkaji masalah ba­nyaknya para koruptor yang bebas. Hal ini menunjukkan bah­wa hakim yang ada yang mengadili masalah korupsi tidak mem­punyai ketegasan dalam memberi keputusan yang kong­krit terhadap para koruptor. Inilah penyakit yang dialami bangsa kita saat ini. Jika hal ini terus dibiarkan maka tidak me­nutup kemungkinan bangsa kita menjadi urutan pertama dalam masalah suap dan korupsi. Ba­nyak­nya suap dan korupsi yang ada di tubuh negeri ini karena besarnya peluang yang mereka miliki, faktanya Pengadilan Ti­pikor menjadi surga bagi para koruptor.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More