Kamis, 23 Desember 2010

Idealisme (aliran filsafat)


Idealisme
(J.G. Fichte, Schelling, Hegel, dan Schopenhauer)

 
  1. Pendahuluan
    1. Pengertian
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa, ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu. Idealisme, kadang-kadang digunakan istilah mentalisme atau imaterialisme, yaitu keyakinan bahwa hanya roh, jiwa, pikiran dan isinya yang ada. Sebuah istilah yang pertama kali digunakan secara filosofis oleh Liebniz awal abad ke-18. Ia menetapkan istilah ini pada pemikiran Plato, seraya memperlawankannya dengan materialisme Epikorus.
Idealisme juga merupakan salah satu aliran dalam sejarah filsafat barat modern yang berpandangan bahwa kenyataan akhir yang sungguh-sungguh nyata itu adalah pikiran (idea) dan bukanlah benda di luar pikiran kita (materi). Realitas itu sama luasnya dengan pikiran, maka yang real itu rasional dan yang rasional itu real. Benda-benda di luar pikiran, seperti alam, masyarakat, alat-alat, dst. Tidak memiliki status ontologisnya, yaitu tidak sungguh-sungguh real. Tak ada benda-benda di luar pikiran. Benda yang kita lihat seolah-olah di luar pikiran kita, seperti kursi dihadapan kita, sebenarnya adalah idea atau pikiran dalam bentuk lahiriah.
  1. Perkembangan Idealisme
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja dari alam idea itu.
Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode idealisme Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa.
  1. Tokoh-tokohnya
    1. Plato (477 -347 SM)
    2. Spinoza (1632 -1677)
    3. Liebniz (1685 -1753)
    4. Berkeley (1685 -1753)
    5. Immanuel Kant (1724 -1881)
    6. J. Fichte (1762 -1814)
    7. F. Schelling (1755 -1854)
    8. G. Hegel (1770 -1831)
Di dalam filsafat, idealisme adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakekat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam kebergantungan pada jiwa (mind) dan spirit (roh). Istilah ini diambil dari "idea", yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Keyakinan ini pada Plato. Pada filsafat modern, pandangan ini mula-mula kelihatan pada George Berkeley (1685-1753) yang menyatakan bahwa hakekat objek-objek fisik adalah idea-idea. Leibniz menggunakan istilah ini pada permulaan abad ke-18; menamakan pemikiran Plato sebagai lawan materialisme Epicurus.

 

 
  1. Pembahasan
    1. Filsafat Idealisme Fichte (1762-1824)
Johan Gottlieb Fichte adalah filosof Jerman. Idealis etis Fichte diringkaskan dalam pernyataan bahwa dunia aktual hanya dapat dipahami sebagai bahan tugas-tugas kita. Oleh karena itu, filsafat bagi Fichte adalah filsafat hidup yang terletak pada pemilihan antara moral idealisme dan moral materialisme. Subtansi materialisme menurut Fichte adalah naluri, kenikmatan yang tak bertanggung jawab, bergantung pada keadaan, sedangkan idealisme ialah kehidupan yang bergantung pada diri sendiri.
Bagi seorang idealis, hukum moral ialah setiap tindakan harus merupakan langkah yang menuju kesempurnaan spiritual. Itu hanya dapat dicapai pada masyarakat yang anggota-anggotanya  yang bebas merealisasi diri mereka dalam kerja untuk masyarakat. Pada tingkatan yang lebih tinggi, keimanan dan harapan manusia muncul pada kasih Tuhan.
Filsafat menurut Fichte haruslah dideduksikan dari satu prinsip. Ini sudah mencukupi untuk memenuhi tuntutan pemikiran, moral, bahkan seluruh kebutuhan manusia. Prinsip yang dimaksud ada di dalam etika; bukan teori, melainkan prakteklah yang menjadi pusat yang disekitarnya kehidupan diatur. Unsur esensial dalam pengalaman adalah tindakan, bukan fakta. Kemudian, dia berpendapat, dasar kepribadian adalah kemauan; bukan kemauan irasional pada Schopenhauer, melainkan kemauan yang dikontrol oleh kesadaran bahwa kebebasan di peroleh hanya denagn melalui kepatuhan pada peraturan. Kehidupan moral adalah kehidupan usaha. Manusia dihadapkan pada rintangan-rintangan, dan manusia digerakkan oleh rasa wajib bahwa ia berutang pada aturan moral umum yang memungkinkannya mampu memilih yang baik.
    Dengan idealisme subjektifnya, Fichte mengajarkan bahwa subjek manusia benar-benar menciptakan realitas. Dengan demikian, tidak realitas yang berdiri sendiri dan terlepas dari subjek.

 
  1. Filsafat Idealisme Schelling (1775-1854)
Friedrich Wilhelm Joshep Achelling adalah filosofis idealis Jerman muda yang sudah mencapai kematangan sebagai filosof pada waktu itu. Dia adalah filosof idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel, Schelling adalah idealis Jerman yang terbesar. Pemikirannya pun merupakan mata rantai antara Fichte dan Hegel.
Seperti Fichte, Schelling mula-mula berusaha menggambarkan jalan yang intelek dalam proses mengetahui, semacam epistimologi. Fichte memandang alam semesta sebagai lapangan lapangan tugas manusia dan sebagai basis kebebasan moral, Schelling membahas realitas lebih objektif dan menyiapkan jalan bagi idealisme absolut Hegel.
Dalam pandangan Schelling, realitas adalah identik dengan gerakan pemikiran yang berevolusi secara dialektis. Akan tetapi ia berbeda dalam segala hal dengan Hegel. Pada Schelling, juga pada Hegel, realitas adalah proses revolusi dunia menuju sosialisasinya berupa suatu eksresi kebenaran terakhir.
Dalam rasionalisme, Schelling membantah dan mengkritik semua bentuk paham rasionalisme. Yaitu ketika dia memandang alam ini, katanya, tidak dapat dibayangkan system rasional. Dan semenjak tahun 1809 ia berusaha mengembangkan paham metafisika emperisme. Disini ia memperlihatkan bahwa susunan rasionalisme adalah konstur hiipotesis, yang memerlukan pembuktian nyata, baik pada alam maupun pada sejarah. Ia juga menambahkan bahwa kategori agama pada akhinya merupakan pernyataan yang lebih berarti dari pada realitas yang lain.
Reese (1980: 511) menyatakan bahwa filsafat schalling berkembang melalui lima tahap. (1) idealisme subjektif. Pada tahap ini ia mengikuti pemikiran Fichte. (2) filsafat alam. Pada tahap ini ia menerapkan prinsip atraksi dan repulse dalam berbagai problem filsafat dan sains. (3) idealism transendental atau idealism objektif. Filsafat alam dilengkapi oleh suatu kesadaran absolut yang perkembangannya merupakan wahyu yang absolut dalam sejarah. Filsafatnya tentang seni memperlihatkan pendapatnya itu. Ia menyatakan bahwa seni merupakan kesatuan antara subjektif dan objektif, roh dan alam. Tragedy dipandang sebagai tubrujan antara suatu keharusan dengan kebebasan, didamaikan oleh kesediaan menerima hukuman secara jantan. Hukuman itu memperlihatkjan kesediaan kita menerilma realitas dan idealitas. (4) filsafat identitas. Yang absolute itu pada tahap  ini menjadi lebih penting kedudukannya, sipandang sebagai identitas semua individu isi alam. (5) filsafat positif. Pada tahap terakhir ini pemikirannya menekankan nilai mitologi dan mengakui perbedaan yang jelas antara Tuhan dan alam semesta. Pada tahap ini ia mengikuti sebagian pemikiran Jacob Boehme dan Neo-Platonisme. Namun Petrus mengatakan bahwa dalam sejarah filsafat, biasanya perkembangan filsafat Schelling dibagi menjadi empat periode, yaitu periode filsafat alam, periode sistem idealistis atau tahap filsafat identitas, periode sinkretisme, dan periode teosofi.

 
  1. Filsafat Idealisme Hegel (1770-1831)
Merupakan puncak gerakan filsafat Jerman yang berawal dari Kant; walaupun ia sering mengkeritik Kant. Filsafatnya tidak akan pernah muncul kalau tidak ada Kant. Pengaruhnya, kendati kini surut, sangat besar, tidak hanya atau terutama di Jerman. Pada akhir abad kesembilan belas, para filusuf akademik terkemuka, baik di Amerika maupun Britina Raya, sangat bercorak Hegelian. Marx, seperti yang kita ketahui, ialah murid Hegel semasa mudanya, dan dalam sistem filsafatnya yang terakhir ia masih mempertahankkan beberapa corak Hegelian.
Filosof Amerika, M. R. Cohen, menyebut Hegel sebagai filosof terbesar abad ke-19. Kalau melihat pengaruhnya pada Marx saja agaknya penyataaan Cohen itu cukup beralasan. Dalam pengantar bukunya, Das Kapital edisi kedua, Marx mengatakan bahwa dirinya adalah murid Hegel sekalipun "dialektika saya berlawanan dengan dialektika Hegel".
Masalah pokok yang hendak dicari Hegel jawabannya muncul dari suasana perpecahan keyakinan Kristen dan penuhanan akal sebagaimana muncul dalam revolusi Prancis 1789. Ini adalah masalah nasib manusia, masalah kebermaknaan eksistensi manusia. Hegel berusaha membuat jawaban dengan menggunakan istilah-istilah sekular. Hegel menghubungi nenek moyangnya orang Yunani, untuk meminta pertolongan mencari jawaban jawaban atas persoalan dasar itu. Di dalam bukunya, History Of Pihlosophy, ia mengatakan, "Aristoteles adalah tokoh Yunani yang paling penting dipelajari; pada Plato kita memperoleh prinsip-prinsip umum yang abstrak; pada Aristoteles pemikiran itu sudah menjadi pemikiran yang kongkrit."
Pusat filsafat Hegel ialah konsep Geist (roh, spirit,) suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Istilah ini agak sulit dipahami. Roh dalam pandangan Hegel adalah sesuatu yang real, kongkrit, kekuatan yang objektif, menjelma dalam berbagai bentuk sebagai dunia Roh yang menempati objek-objek khusus. Di dalam kesadaran diri, roh itu merupakan esensi manusia dan juga esensi sejarah manusia.
Bagian metafisikanya ini dimulai dari penmbahasan tentang rasio. Bertens (1979;68) menjelaskan bahwa Hegel sangat mementingkan rasio. Tentu saja karena ia seorang Idealis. Yang dimaksud olehnya bukan saja rasio pada manusia perseorangan, tapi terutama rasio pada subjek absolute kerena Hegel juga menerima prinsip idealistic bahwa realita seluruhnya harus di setarafkan dengan suatu subjek. Dalil Hegel yang kemudian terkenal  berbunyi;
"Semua yang real bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat real." Maksudnya, luasnya rasio sama dengan luasnya relaitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (idea, menurut istilah Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri. Atau dengan perkataan Hegel yang lain, realita seluruhnya adalah roh
yang lambat laun menjadi sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja beraksi terhadap kecenderungan intelektual ketika itu yang mencurigai sambil mengutamakan perasaan. Menurut Marx ada dua hal yang dapat menjadi titik tolak kita dalam menelusuri beberapa gagasan dasar Hegel, di antaranya Hegel melihat manusia sebagai hasil sebuah proses, dan proses itu di pahami sebagai sebuah pekerjaan.
Hegel menegaskan bahwa yang nyata adalah rasional, dan yang rasional adalah nyata. Namun ketika ia mengatakan hal ini ia tidak memaksudkan "yang nyata" itu sebagai apa yang menurut para tokoh empiris dipandang nyata. Ia mengakui, bahkan meyakinkan, bahwa apa yang bagi tokoh empiris terlihat sebagai fakta adalah, dan pasti, tidak rasional; ini hanya setelah karakter yang terlihat pada fakta itu dijelmakan memandang karakter-karakter itu sebagai aspek-aspek dari keseluruhan sehingga terlihat rasional. Sekalipun begitu, identifikasi terhadap yang nyata dan yang rasional itu tentu menimbulkan beberapa kepuasan yang tak biasa dipiiisahkan keyakinan bahwa "apa saja yang berada (is), adalah benar".
Ada dua hal yang membuat Hegel berbeda dengan orang-orang yang memiliki metafisis yang kurang lebih mirip dengannya. Salah satunya adalah penekanan pada logika; Hegel memandang bahwa hakekat realitas biasa dideduksi dari pertimbangan tunggal bahwa realitas harus tidak kontradiktif diri. Corak pembeda lainnya (yang terkait erat dengan yang pertama) adalah gerakan tritungal yang disebut "dialektik".
Logika, menurut pemahaman Hegel, dinyatakan sebagai hal yang sama dengan metafisika. Ini berbeda dengan apa yang biasanya disebut logika. Pandangannya adalah bahwa segala predikat biasa, jika diterima sebagai sesuatu yang memungkinkan keutuhan realitas, menghasilkan kontradiktif diri. Untuk contoh kasar, kita biasa mengambil teori Permides bahwa Yang Esa, yang dia sendirian adalah nyata, itu bersifat bulat. Tidak ada yang bisa bulat kecuali yang memiliki garis batas, dan tidak ada yang bisa memiliki garis batas kecuali ada sesuatu (atau sekurang-kuranmgnya ruang hampa) diluarnya. Oleh sebab itu menganggap alam semesta sebagai kaseluruhan yang bulat adalah kontradiktif diri. (argument ini bisa dipersoalkan dengan membawanya kedalam geometri Non-Euklides, tetapi argument ini berfungsi sebagai ilustrasi.) atau mari kita ambil ilustrasi lain, tanpa kontradiksi yang terlihat, bahwa pak Ali ialah seorang paman; namun kalau anda mengatakan bahwa alam semesta adalah seorang paman, anda akan menceburkan diri sendiri kedalam beberapa kesulitan. Paman adalah orang yang memiliki kemenakan, dan kemenakan ialah orang terpisah dari paman; oleh sebab itu, seorang paman tidak bisa menjadi realitas seutuhya.
Konsep filsafat Hegel seluruhnya historis dan  relatif. Karena juga dipengaruhi oleh pandangan-pandangan antropologi dan sosiologi modern, relativismenya cukup menonjol. Ia mengatakan bahwa apa yang benar ialah perubahan. Kunci filsafat Hegel terletak pada pandangannya tentang sejarah. Sejarah, menurut Hegel, mengikuti jiwa dialektik.
Untuk menjelaskan filsafatnya, Hegel menggunakan dialektika sebagai metode. Namun, dialektika itu bukanlah sekedar digunakan untuk menjelaskan. Lebih luas dari itu, menurut Hegel, dalam realitas ini berlangsung dialektika. Dealektika yang berlangsung dalam realitas itu diungkapkan oleh Hegel dalam filsafatnya. Yang dimaksud oleh Hegel dengan dialektika ialah mendamaikan. Mengkompromikan hal-hal yang berlawanan (Bertens,1979;68).
Proses dialektika selalu terdiri atas tiga fase. Fase pertama (tesis) dihadapi (antithesis) fase kedua, dan akhirnya timbul fase ketiga (sintesis). Dalam sintesis itu, tesis dan antithesis menghilang. Dapat juga tidak menghilang ia masih ada, tetapi sudah diangkat pada tingkat yang lebih tinggi. Proses ini berlangsung terus. Sintesis segera menjadi tesis baru, dihadapi oleh antithesis baru, dan menghasilkan sintesis baru. Dan sintesis baru ini segera pula menjadi tesis baru lagi, dan seterusnya.

 
4. Filsafat Idealisme Arthur Schopenhauer

Sama seperti pemikiran Fichte, Schelling, dan Hegel, filsafat Schopenhauer juga memiliki hubungan yang erat dengan Kant. Dia menyetujui pandangan Kant bahwa jangkauan pengetahuan kita hanya terbatas pada bidang penampakan atau fenomena belaka, sedangkan realitas tidak dikenal.
Dia merupakan seorang filsuf
Jerman yang melanjutkan tradisi filsafat pasca-Kant. Schopenhauer lahir di Danzig pada tahun 1788. Dia menempuh pendidikan di Jerman, Perancis, dan Inggris. Dia mempelajari filsafat di Universitas Berlin dan mendapat gelar doktor di Universitas Jena pada tahun 1813. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Frankfurt, dan meninggal dunia di sana pada tahun 1860.

 
  1. Penutup
Schelling menamakan idealisme Fichte adalah idealisme subjektif karena bagi Fichte adalah suatu tempat memahami subjek. Solipsisme, suatu pandangan metafisika yang mengatakan bahwa yang dapat dipahami adalah diri sendiri, dapat digolongkan kedalam idealisme subjektif. Fichte, tokoh yang  berpendapat bahwa kemauan moral (moral will) sebagai yang utama di dalam idealisme, dianggap sebagai pendiri idealisme Jerman.
Schalling menyebut filsafatnya pada masa pertengahan perkembangan pemikirannya idealisme subjektif (objective idealis) karena menurut pandangannya, alam adalah sekedar "intelejensia yang dapat dilihat" (visible intellijence). Kalau begitu maka seluruh filosofis yang berusaha mengidentifikasi realitas dengan idea, rasio, atau spirit, seperti Berkey dan seluruh filosofis panpsikisme, dapat di golongkan kedalam jalur idealisme objektif.
Hegel dapat menerima adanya penggolongan menjadi idealisme subjektif dan idealisme objektif. Dari sini ia mengemukakan filsafatnya tesis-antitesis, dan ia mendirikan alur pemikirannya semdiri yang disebutnya idealisme absolute sebagai sintesis tertinggi dibandingkan dengan idealisme subjektif (tesis) dan idealisme objektif (antitesis). Sejak Hegel mengemukakan idealisme absolute banyak filosofis yang menekankan pemikirannya pada yang absolute. Diantara tokoh idealisme absolute adalah Bradley, T.H Green, Bernard Bosanquest, dan Josiah Roice.
Kant menyebut filsafatnya idealisme transendal atau idealisme kritis(critical idealism). Disini diajarkan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh bukanlah "ianya"(thing-in them selves), dan ruang dan waktu adalah bentuk-bentuk intuisi kita. Menurut Schalling idealisme transcendental Kant itu sama saja dengan idealisme objektif.
Pendapat yang mengantakan bahwa seseorang hanya dapat kontak dengan idea-idea, atau pada kesempatan tertentu dengan sosok, fisik, kadang-kadang disebut idealisme epistimologi (epistemological idealisme). Bila ini kita terima, maka tokoh-tokoh berikut ini dapat digolongkan penganut idealisme epistimologi, yaitu Locke dan kebanyakan emperesis, tokoh-tokoh okasionalisme Prancis, begitu juga dengan fenomenologisme. Oleh karena itu, pengkategorian itu menyebabkan kebingungan karena pengkategorian dari segi epistimologi ini akan memasukkan orang-orang yang posisi metafisikanya realisme, dualisme, materialisme, dan sekeptisisme kedalam satu kelompok (idealisme epistimologis).
Jadi, istilah idealisme itu berkembang dalam berbagai pengertian, dan berkembang menjadi berbagai spesies.

 

 

 

 

 
DAFTAR PUSTAKA

 
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, Cet. 4, 2005
Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1975
Franz Magnis-Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta:
Gramedia, Cet. 2, 2007
Lily Tjahjadi, Simon Petrus, Pr, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani Hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius,
2004
O. Kattsoff, Louis, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, Cet. 7, 1996
Russell Bertrand. Sejarah Filsafat Barat LTD., London, 1946
Tafsir Ach, Filsafat Umum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, Cet. I, 2003

 

 

0 komentar:

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More