KORUPSI DAN MORAL BANGSA
Krisis
moneter yang melanda negara tercinta,
Indonesia, sejak 1996, telah menyebabkan terjadinya krisis-krisis yang lain.
Antara lain yang paling memprihatinkan adalah terjadinya krisis moral. Di sisi
lain, Orde Reformasi yang muncul setelah tumbangnya Orde Baru, tidak mampu
memberikan perbaikan terhadap kondisi kehidupan rakyat pada umumnya. Padahal,
semula rakyat berharap bahwa pada Orde Reformasi ini, korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) yang terjadi pada orde sebelumnya dapat diberantas karena telah terbukti menghambat pembangunan bangsa
dan negara. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Dengan terjadinya krisis
moral, maka praktik-praktik KKN para Orde Reformasi bukannya diberantas, malah
semakin marak dan merajalela.
Korupsi sendiri berasal dari bahasa Latin: corruption dari kata
kerja corrumpere yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan,
memutarbalik, menyogok. Menurut Transparency International, korupsi adalah
perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang
secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri sendiri atau memperkaya
orang-orang yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepadanya. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara
garis besar mencakup unsur-unsur berikut: perbuatan melawan hukum,
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri,
orang lain atau korporasi; dan merugikan keungan negara atau perekonomian
negara.
Selain itu, terdapat beberapa jenis tindakan pidana korupsi yang lain, di
antaranya: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), penggelapan
dalam anggaran, pemerasan dalam jabatan, ikut serta dalam pengadaan
barang/jasa, dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politisi adalah penyalahgunaan
jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintahan rentan
terhadap korupsi dalam praktiknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang
paling ringan dalam bentuk pengunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan
menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang dilegalkan, dan
sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harfiahnya adalah
pemerintahan oleh para pencuri, di mana orang yang pura-pura bertindak jujur
pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele
atau berat, terorganisasi atau tidak. Meskipun korupsi sering memudahkan
kegiatan kriminal, seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi,
namun korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk
memperpanjang masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk
membedakan antara korupsi dan kriminalitas kejahatan. Dari pengertian korupsi
di atas, jelas korupsi merupakan sebuah tindakan ketidakjujuran yang merupakan
tindakan tercela, terlebih lagi dalam tinjauan agama.
Lemahnya keadilan
merupakan fenomena yang tak pernah hilang dari tubuh bangsa
Indonesia. Hal ini sudah menjadi tradisi turun temurun
yang akan terus berlanjut tanpa adanya kepastian yang jelas. Potret buram
ini juga telah menjadi budaya di negeri ini. Indonesia
yang kaya akan sumber daya alamnya juga tidak kalah kaya akan korupsinya,
betapa mudahnya para koruptor yang seenaknya melenyapkan uang rakyat dari
segala bidang yang ada di pemerintahan, begitu juga suap menyuap yang telah
mewarnai aktifitas kehidupan di negeri ini. Korupsi dan
suap-menyuap adalah dua aspek yang tak pernah selesai tersentuh hukum yang
jelas. Dualisme inilah yang menyebabkan lemahnya keadilan di tubuh bangsa ini.
Dualisme suap menyuap dan korupsi adalah racun yang perlahan-lahan
menggerogoti sendi-sendi bangsa yang berdampak buruk bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Ironis
jika bangsa kita yang berada pada zaman reformasi dan demokrasi tapi tindakan
suap-menyuap dan korupsi menjadi tradisi yang dilakukan secara
terang-terangan. Seperti terjadinya suap-menyuap di dunia pendidikan yang
lebih mementingkan materi dari pada akademis, Untuk
memasukkan anak ke sekolah yang bonafit, tidak cukup hanya bermodal nilai UN
yang tinggi tapi dibutuhkan juga uang yang banyak untuk menyumpal mulut para
panitia. Terjadinya
monopoli dalam dunia usaha dan bisnis yang dapat menguasai harga, praktek
suap menyuap dalam tubuh birokrasi dan pengadilan dan sampai hal kecil seperti
pembuatan KTP pun masih terjadi suap dan sogok-menyogok. Tindakan
suap-menyuap akan melahirkan para koruptor dan kenapa hal ini terjadi karena
adanya peluang. Sungguh
pemandangan yang sangat menyedihkan. Kedua tindakan hina ini mempunyai kesamaan dan
merugikan banyak pihak terutama rakyat yang setia membayar pajak terkena imbasnya.
Dan perlu kita renungi bahwa suap-menyuap dan korupsi berada di urutan 47 di
tataran global dan untuk Asia Pasifik, Indonesia berada pada urutan kedua
terburuk.
Seperti yang terjadi
belakangan ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diharapkan
bisa memberi warna positif bagi pengadilan yang ada di Indonesia malah
jauh melenceng dari apa yang diharapkan. Hal ini dikarenakan maraknya vonis
bebas yang diberikan kepada beberapa terdakwa korupsi oleh Pengadilan Tipikor,
terkait masalah ini Donal Fariz Peneliti hukum ICW memaparkan, “awal
pembentukan Pengadilan Tipikor tak lain seringnya pengadilan negeri mengambil
keputusan kontroversial dalam kasus korupsi dengan membebaskan para
tersangkanya, tetapi jika pengadilan Tipikor melakukan hal yang sama, harus
ada evaluasi secara menyeluruh” (Republika 7/11/12). Ini semua
merupakan gambaran bahwa betapa lemahnya hukum di pengadilan yang ada di
negara kita saat ini. Pengadilan Tipikor yang usianya belum genap dua tahun
sejak dibentuk berdasarkan undang-undang pengadilan Tipikor namun telah
melahirkan prestasi yang cukup mencengangkan dalam pembebasan yang diberikan
kepada terdakwa korupsi.
Terkait masalah ini
Indonesia Corruption watch (ICW) juga memaparkan data yang mereka miliki bahwa
terdapat 40 terdakwa kasus korupsi dibebaskan oleh Pengadilan Tipikor dan
tidak menutup kemungkinan ini bisa bertambah (Republika 7/11/12). Mengkaji
masalah banyaknya para koruptor yang bebas. Hal ini menunjukkan bahwa hakim
yang ada yang mengadili masalah korupsi tidak mempunyai ketegasan dalam
memberi keputusan yang kongkrit terhadap para koruptor. Inilah penyakit yang
dialami bangsa kita saat ini. Jika hal ini terus dibiarkan maka tidak menutup
kemungkinan bangsa kita menjadi urutan pertama dalam masalah suap dan korupsi.
Banyaknya suap dan korupsi yang ada di tubuh negeri ini karena besarnya
peluang yang mereka miliki, faktanya Pengadilan Tipikor menjadi surga bagi
para koruptor.
0 komentar:
Posting Komentar